Kisah Septi dan Febi, Pasangan Tunanetra yang Berjuang Sekolahkan 4 Anak Hingga Perguruan Tinggi

Anak pertama pasangan tunanetra ini adalah mahasiswa semester lima di jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Cenderawasih, Papua.

TRIBUNPAPUABARAT.COM/Kresensia Kurniawati Mala Pasa
TUNANETRA MANDIRI- Septinus Manggaprou (kiri) bersama isterinya, Febi Selaya (kanan) di kediaman mereka di kompleks Taman Ria, Kelurahan Wosi, Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Rabu (21/9/2022). Keduanya penyandang tunanetra sejak usia tiga tahun, tapi hidup mandiri untuk menyekolahkan empat anak mereka. 

Laporan Wartawan TribunPapuaBarat.com, Kresensia Kurniawati Mala Pasa

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI- Ketidakmampuan untuk melihat, bukan menjadi alasan Septinus Manggaprou (41) dan Febi Selaya (34) untuk menyerah dalam kehidupan.

Keduanya buta sejak berusia tiga tahun,  imbas dari penanganan yang kurang tepat dari penyakit campak yang mereka diderita kala itu.

Pasangan tunanetra ini diberi tanggung jawab membesarkan empat anak yang terlahir normal, buah cinta pernikahan mereka.

Sebagai kepala keluarga, Septinus Manggaprou atau yang akrab disapa Septi, tetap bertugas mencari nafkah.

Saban hari, pria kelahiran Manokwari, 26 September 1982 itu, membawa keset dari sabut kelapa dan sapu lidi dari rumahnya di kompleks Taman Ria, Kelurahan Wosi, Distrik Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Menggunakan jasa ojek, Septi diantar ke tengah Kota Manokwari untuk berjualan keliling di sana.

Baca juga: Sekilas Tentang Band Tunanetra di Manokwari, Rutin Lakukan Aksi Penggalangan Dana

"Sa biasa keluar rumah itu jam sembilan pagi, nanti pulang jam 8 malam," ujar Septinus Manggaprou kepada wartawan saat ditemui belum lama ini.

Sang istri, Febi Selaya, dengan setia menunggu suaminya pulang di rumah, sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain.

Dalam sehari, Septinus Manggaprou bisa mengantongi uang Rp 200 ribu.

Jika 20 ikat sapu lidi dan keset dari sabut kelapa hasil kerajinan tangannya laku terjual, Septi bisa meraup untung hingga Rp 400-500 ribu.

Selain berjualan, ucap Septi, jasa pijat tradisional juga ia tawarkan kepada orang-orang sekitarnya.

Septi membeberkan, saat berjualan dia sangat jarang keliru memberi uang kembalian bagi pelanggannya.

Ia mengandalkan indra peraba untuk menyentuh permukaan uang, dan insting untuk menentukan nilai mata uangnya.

"Sa juga tidak pernah tersesat. Malah sering saya dan istri yang tuntun jalan untuk tukang ojek yang baru datang di Manokwari," tutur pria keturunan Biak itu.

Baca juga: Cerita Septi, Sempat Putus Asa Karena Tunanetra, Kini Lincah Bermain Gitar dan Menabuh Drum

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved