Berita Papua Barat

Sandang Gelar Doktor, Hendrik Arwam Ajak Semua Pihak Jaga Mitos Adat Masyarakat Papua

Hendrik Arwam usai resmi menyandang gelar doktor menyatakan dirinya lebih fokus pada bidang etno-lingkungan

Penulis: R Julaini | Editor: Hans Arnold Kapisa
TribunPapuaBarat.com/Rachmat Julaini
DOKTORAL - Dr Hendrik Arwam saat mempertahankan disertasinya berjudul Dekonstruksi Mitos dan Lingkungan Sagu Pemertahanan Budaya Pada Masyarakat Adat Suku Emeyode di Kabupaten Sorong Selatan di Provinsi Papua Barat Daya dihadapan penguji di Aula Pascasarjana UNIPA, Selasa (17/6/2025) 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Mantan Wakil Rektor III Universitas Papua, Hendrik Arwam resmi menyandang gelar Doktor pada Bidang Ilmu Lingkungan.

Gelar doktor diperoleh usai mempertahankan disertasi berjudul Dekonstruksi Mitos dan Lingkungan Sagu Pemertahanan Budaya Pada Masyarakat Adat Suku Emeyode di Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat Daya.

Disertasi tersebut dipertahankan Hendrik Arwam dalam Sidang Ujian Terbuka yang dibuka langsung Rektor UNIPA, Dr Hugo Warami di Aula Pascasarjana UNIPA, Selasa (17/6/2015).

Sidang Ujian Terbuka bagi Hendrik Arwam dihadiri para penguji antara lain, Prof Andoyo Supriantono (promotor), Dr Yolanda Holle (promotor satu), Dr Yusuf W Sawaki (co-promotor dua), Dr Hugo Warami, Dr Derek Ampnir (penguji eksternal), Dr Yafet Syufi dan Dr Anton S Sinery.

Dalam paparannya, Hendrik Arwam menjelaskan, Suku Emeyode memiliki persebaran cukup luas mencakup Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Kaimana dan Fakfak.

Baca juga: Markus Waran Raih Gelar Doktor, Hugo Warami: Inspirasi Bagi Generasi Muda

Disertasinya berfokus pada penelitian berkaitan dengan cara eksplorasi substansif positif tentang ilmu lingkungan secara makro berkaitan mitos yang berkaitan dengan sagu.

"Suku Emeyode punya semboyan yakni jaga sagu sama dengan jaga iklim. Itu menjadi kearifan lokal dalam sistem budaya masyarakat adat Suku Emeyode dan Kokoda, di Sorong Selatan," ungkapnya dalam pemaparan.

Suku Emeyode juga disebut membangun rumah berupa panggung dari papan di atas rawa-rawa serta sungai.

Usai pemaparan, masing-masing penguji diberikan waktu selama sepuluh menit untuk menguji kemampuan Hendrik Arwam dalam memahami disertasinya sendiri.

Setidaknya Hendrik Arwam harus menjawab 20 lebih pertanyaan yang diajukan dalam sidang yang berlangsung kurang lebih 2,5 jam tersebut.

Baca juga: Markus Waran, Putra Terbaik Arfak Resmi Sandang Gelar Doktor Ilmu Lingkungan di Universitas Papua

Hendrik Arwam usai resmi menyandang gelar doktor menyatakan dirinya lebih fokus pada bidang etno-lingkungan.

Dia mengharapkan, pembicaraan mendatang mengenai lingkungan tidak lagi berada di tata global belaka melainkan menyentuh pula etno-lingkungan itu sendiri.

"Supaya identik dengan budaya yang ada di masing-masing etnis. Ini yang harus dikampanyekan," ungkapnya.

Hendrik Arwam juga menyatakan mitos dan kearifan lokal adalah bagian yang tidak boleh termarjinalkan. 

"Bagi orang Papua, mitos adalah bagian dari konstruksi bagi peradaban ke depan," tegas Hendrik Arwam.

Baginya, masalah konservasi tidak hanya harus berbentuk kegiatan melainkan bagaimana menjaga mitos-mitos masyarakat yang telah ada sejak dulu.

"Maka itu saya tekankan tadi bahwa pembicaraan mengenai lingkungan itu tidak lepas dari pembahasan etno-nya," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved