Kisah Pater Bernard Baru, Dirikan Sekolah Adat Fenia Meroah untuk Perempuan Papua Barat Berdikari
Dilatarbelakangi kesadaran Pater Bernard Baru, OSA bahwa suara perempuan adat akan semakin lantang ketika dirinya berdikari.
Penulis: Kresensia Kurniawati Mala Pasa | Editor: Haryanto
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Melindungi hutan adat di Papua Barat tak terlepas dari peran kaum perempuan adat.
Hal inilah yang mendasari Pater Bernard Baru, OSA (Ordo Santo Agustinus) untuk mendirikan sekolah adat bagi kaum perempuan yang diberi nama Fenia Meroah.
"Dalam bahasa daerah orang Maybrat, fenia artinya perempuan, Meroah, berarti pendidikan adat," terang Pater Bernard Baru, OSA kepada TribunPapuaBarat.com di Manokwari, Minggu (4/12/2022).
Baca juga: Angkat Isu Pendidikan Bagi Perempuan, Antropologi UNIPA Tayangkan Film Lamek dan Gelar Diskusi
Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan OSA itu menjelaskan, Fenia Meroah mulai terbentuk pada 2007.
Dilatarbelakangi kesadaran Pater Bernard Baru, OSA bahwa suara perempuan adat akan semakin lantang ketika dirinya berdikari.
Terbebas dari belenggu sekadar mengikuti perintah para pemangku kepentingan, bahkan kaum laki-laki di komunitas adatnya.
"Ketika perempuan adat mandiri, maka akan lebih berkontribusi menjadi agent of change (agen perubahan)," ujar pria kelahiran Suswa, 22 Agustus 1969.
Baca juga: Antropologi UNIPA Gelar Workshop, 16 Hari Sosialisasi Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Untuk saat ini, ucap dia, Fenia Meroah berisi perempuan adat dari suku Mare, Meyah dan Aifat.
Pater Bernard Baru, OSA memiliki cara tersendiri untuk pola pendidikan Fenia Meroah.
Seperti membaginya menjadi dua kelompok, yakni lapisan sentral dan lapisan luar.
Lapisan sentral berisi kelompok perempuan adat dewasa yang memiliki renjana (passion) untuk melawan dan memperjuangkan deforestasi hutan adat.
Angkatan pertama yang dibina Pater Bernard Baru, OSA selama enam tahun, kelompok inti berjumlah 12 orang.
"Tugas lapisan inti ini untuk membina lapisan kedua atau luar yang berisi anak muda usia SMA sampai mahasiswa," urai pria asli Maybrat itu.
Baca juga: Tingkatkan Persatuan Perempuan, Binsyowi Bin Byak Bar Mnukwar Gelar Musda III
Kendati angkatan pertama sudah tamat belajar, Pater Bernard Baru, OSA mengaku proses kaderisasi terus berlanjut untuk angkatan kedua dan seterusnya.
Sepak terjang perempuan adat yang telah lulus dari Fenia Meroah pun, diakuinya semakin moncer.
Pertarungan melawan para investor 'nakal' dan oknum pendukungnya, dijalani perempuan adat secara advokasi pasca terjun ke sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sementara itu, Pater Bernard Baru, OSA menyebutkan, tak ada kurikulum khusus yang digunakan dalam Fenia Meroah.
Aktivitas belajar para perempuan adat melalui diskusi interaktif, rekoleksi, kemah rohani dan rutin membedah film dokumenter tentang ekologi dan masyarakat adat.
"Karena bicara ekologi berarti bicara masyarakat adat. Kalau terjadi kerusakan lingkungan, maka jelas mengganggu kehidupan masyarakat adat," papar lulusan doktor antropologi teologi dari Universitas Urbaniana, Roma.
Baca juga: Kulit Kayu Tak Hanya Jadi Noken, Mama Papua Anna Mote Pamer Kreasi Lain di KMAN VI, Sita Perhatian
Imam Katolik itu berpandangan, peran perempuan adat kian krusial di tengah gempuran investor di wilayah hutan adat Papua Barat.
Berdalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, terselubung niat para investor untuk mengekploitasi keanekaragaman hayatinya.
Dia mencontohkan, perusahaan sawit di Kabupaten Sorong (Tanah Moi) yang merambah hutan untuk alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Ratusan bahkan ribuan pohon jenis kayu besi pun terpaksa harus ditebang.
"Kayu besi itu juga diambil mereka untuk dijual ke pabrik kayu," tambahnya.
Hal yang sama terjadi berulang-ulang, sambung dia, sehingga masyarakat adat pemilik hak ulayat kian termarjinalkan.
"Perempuan adat ini yang kita harapkan bisa melatih masyarakat adat supaya tidak cepat termakan bujuk rayu investor," tutup Pater Bernard Baru, OSA.
(*)