Berita Fakfak
Pemkab Fakfak Papua Barat Terbitkan 5 SK Pengakuan Masyarakat Adat
"Ini adalah langkah maju menuju keadilan bagi masyarakat adat di Fakfak," ujarnya.
Penulis: Aldi Bimantara | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, FAKFAK - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Fakfak Provinsi Papua Barat terbitkan 5 SK pengakuan masyarakat adat.
Sebelumnya, Pemkab Fakfak secara resmi menetapkan lima wilayah pemerintahan adat petuanan sebagai bagian dari komitmen dalam memberikan jaminan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat.
"Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Fakfak yang diterbitkan pada 24 Januari 2025, sebagaimana hasil dari proses panjang identifikasi dan verifikasi wilayah pemerintahan adat Petuanan sejak 2019," ujarnya.
Baca juga: Bertemu Masyarakat Adat di Distrik Kuri, Ketua DPRK Teluk Bintuni Sentil Perusahaan
Baca juga: Manfaatkan Lahan Bekas Kebakaran, Disbun Fakfak Pacu Masyarakat Adat Mitimber Sulam Kayu Putih
Sekretaris Daerah Kabupaten Fakfak, Sulaeman Uswanas menyampaikan, bahwa penetapan ini merupakan langkah nyata dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat.
"Sebagai Sekda Kabupaten Fakfak, saya melihat ini sebagai capaian yang patut kita syukuri, terutama hasil dari kerja Sub Pokja I Wewowo Lestari dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat," tandasnya.
Dikatakannya, terbitnya SK ini bukan hanya bentuk pengakuan hak masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya, tetapi juga menjadi awal bagi proses lebih lanjut, seperti identifikasi dan pemetaan marga, yang akan semakin memperkuat perlindungan hak-hak adat.
"Kelima wilayah yang kini diakui sebagai Wilayah Pemerintahan Adat Petuanan adalah Petuanan Arguni, Petuanan Rumbati, Petuanan Peg Peg Sekar, Petuanan Atiati, Petuanan Fatagar," tuturnya.
Sementara itu, dikatakannya, dua wilayah lainnya yakni Petuanan Patipi dan Petuanan Wertuar masih dalam tahap penyelesaian tapal batas dan ditargetkan selesai pada tahun 2025.
Di lain sisi, Nadi Petuanan Fatagar, Taufik Heru Uswanas menegaskan bahwa keputusan ini merupakan kemajuan besar yang patut disyukuri wilayahnya.
"Tetapi juga ini menjadi awal bagi proses lebih lanjut, seperti identifikasi dan pemetaan marga, yang akan semakin memperkuat perlindungan hak-hak adat," ujarnya.
Ia menambahkan, proses ini telah dijalankan sejak 2019 dan akhirnya membuahkan hasil tahun ini.
"Saya berharap dengan adanya keputusan ini, kita mendapatkan pengakuan resmi dari negara, sehingga hukum adat masyarakat terlindungi dan bermanfaat bagi kita semua," paparnya.
Ia menyebut, petuanan merupakan sistem pemerintahan adat yang telah ada di Fakfak sejak abad ke-15 Masehi, dipimpin oleh seorang raja atau nati maupun nadi dan memiliki perangkat adat serta wilayah yang dihuni oleh berbagai marga pemegang hak ulayat.
"Pengakuan atas wilayah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Kabupaten Fakfak dalam melindungi, mengakui, dan memberdayakan masyarakat hukum adat, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua," jelasnya.
Dikatakannya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
"Undang-undang ini juga sedang dalam proses Perubahan Kedua yang salah satunya dilatarbelakangi oleh Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa Hutan Adat bukan lagi bagian dari Hutan Negara, melainkan merupakan Hutan Hak Masyarakat Adat," katanya.
Namun, hingga saat ini putusan tersebut belum sepenuhnya diakomodir dalam Perubahan Kedua UU Kehutanan.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak termasuk Yayasan Kaleka bersama Yayasan AKAPe yang terlibat melalui Kelompok Kerja Wewowo Lestari.
"Di mana tentunya berperan penting dalam proses identifikasi, pemetaan wilayah adat, serta advokasi kebijakan yang memungkinkan pengakuan ini terjadi," tuturnya.
Social Governance Lead Yayasan Kaleka, Greg Retas Daeng mengatakan pengakuan ini bukan hanya soal hak tanah, tetapi juga pelestarian budaya, lingkungan, serta kedaulatan masyarakat adat atas sumber daya mereka sendiri.
"Ini adalah langkah maju menuju keadilan bagi masyarakat adat," ujarnya.
Selain itu, kolaborasi erat dengan tokoh adat, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat memastikan proses ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan adat yang berlaku.
Meskipun penetapan wilayah pemerintahan adat ini menandai langkah penting dalam pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, perjalanan menuju pengakuan penuh masih menghadapi sejumlah tantangan.
"Proses administrasi yang kompleks dan memakan waktu menjadi salah satu kendala utama, terutama dalam hal dokumentasi dan pemetaan batas wilayah adat yang membutuhkan data terintegrasi," jelasnya.
Selain itu, dikatakannya, pemahaman di tingkat lokal mengenai pentingnya pengakuan wilayah adat masih perlu ditingkatkan agar proses ini dapat berjalan lebih inklusif dan didukung oleh berbagai pemangku kepentingan.
Namun, upaya untuk memperkuat pengakuan ini akan terus berlanjut.
Pemerintah Kabupaten Fakfak bersama mitra pembangunan akan mendorong langkah-langkah strategis seperti pemetaan hak ulayat marga, percepatan pengakuan wilayah adat lainnya, serta advokasi kebijakan yang lebih inklusif terutama dalam hal perhatian bagi perempuan adat.
"Dengan sinergi yang semakin kuat antara masyarakat adat, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil, pengakuan dan perlindungan wilayah adat di Fakfak diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal," jelasnya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.