TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI – Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Papua (Unipa) sudah tiga tahun berturut-turut menjalankan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mandiri berupa kuliah kerja nyata (KKN) tematik.
Dekan Fapet Unipa Andoyo Supriyantono mengatakan, KKN tematik merupakan program yang paling revelann untuk mahasiswa Fapet.
Melalui KKN tematik bertajuk “Pembangunan Desa”, mahasiwa Fapet Unipa bisa menemukan banyak permasalahan peternak di kampung, kemudian memecahkannya dengan solusi yang inovatif.
Baca juga: Ungkap Manfaat Kerjasama UNIPA-SASPRI, Meky Sagrim: Relevan dengan MBKM Kampus
Baca juga: Fapet UNIPA Kebagian Rp 4,2 Miliar Dana Revitalisasi PTN, Dekan: Peningkatan Kualitas Praktikum
Selain itu, mahasiswa yang menjalani program KKN tematik selama 3-4 bulan dapat mengonversinya menjadi 20 SKS.
“Sehingga mahasiswa bisa lebih cepat selesai masa studinya. Kita pilihnya di kampung, yah karena peternak kan lebih banyak di kampung,” ungkap Andoyo Supriyantono saat diwawancarai wartawan, di Manokwari, Rabu (6/3/2024).
Ia menjelaskan, disebut MBKM mandiri karena pembiayaanya berasal dari mahasiswa sendiri.
Sementara KKN tematik akan disesuaikan dengan mata kuliah yang diambil mahasiswa pada semester itu.
Mahasiswa Fapet Unipa belum menjalani MBKM berupa magang di dunia industri, karena diakuinya belum ada perusahaan peternakan di Papua Barat.
Setelah beberapa kali menjalankan KKN tematik, ia menilai, mahasiswa Fapet Unipa menunjukkan pola perilaku positif, yakni yang kurang cakap secara teoritis namun cekatan saat di lapangan.
Ia menyebut, dalam program KKN tematik, mahasiswa Fapet Unipa ada yang berhasil mengenalkan teknologi Silase di antara peternak di kampung.
Melalui teknologi Silase dapat mengawetkan kehijauan tanaman ternak dan meningkatkan aroma dan rasa pakan, sehingga meningkatkan kesukaan ternak terhadap pakan tersebut.
Selain itu, mahasiswa Fapet Unipa juga telah beberapa kali menerapkan teknologi biogas di tengah masyarakat di satuan permukiman (SP) 2 dan SP4, Manokwari dan Kebar, Tambrauw.
Menurut dia, inovasi yang diterapkan mahasiswa disesuaikan dengan kebutuhan peternak di lapangan.
Seperti di daerah SP 2, SP 4 dan Kebar yang banyak didapati peternak sapi kesulitan mengendalikan masalah bau menyengat yang menguar dari kotoran sapi.
Walakin masyarakat sekitar sangat terbantu dengan adanya biogas, ia mengaku, biayanya pun tak tanggung-tanggung, satu instalasi biogas bisa menelan biaya Rp50-60 juta.
Oleh sebab itu, ucapnya, jika ingin menjaga kontinuitas biogas, maka dibutuhkan kolaborasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Papua Barat.
“Daripada kotoran sapi ini tersebar dan mengeluarkan bau yang akhirnya menimbulkan konflik sosial, kita manfaatkan jadi biogas,” ujarnya.
(*)