TRIBUNPAPUABARAT.COM - Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menolak dikaitkan dengan usaha pertambangan.
Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada, mengatakan selama ini tidak ada pembicaraan mengenai penawaran pemerintah untuk pengelolaan tambang dengan PMKRI.
"Jikapun ada penawaran, PMKRI pasti menolak," katanya dalam rilis yang diterima Tribun, Selasa (04/06/2024).
Pernyataan Tri Natalia Urada itu merespons ramainya berita soal PMKRI yang masuk daftar organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mendapatkan jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah.
Ketentuan Ormas Keagamaan mendapatkan WIUPK itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
PMKRI berharap pemerintah segera merevisi peraturan ini.
Baca juga: Pertama Kali Kongres PMKRI Digelar Merauke, Ini Tanggapan Pj Gubernur Papua Selatan dan Bupati
Tri mengatakan PMKRI tidak mau terlibat dalam pengelolaan tambang.
"Pertimbangan kami yang paling mendasar adalah, kami tidak mau independensi PMKRI sebagai organisasi mahasiswa terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan usaha tambang," ujarnya.
Sebalik, ucap Tri Natalia Urada, PMKRI akan terus mengkritisi berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan.
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan saat ini ada 7.993 izin mineral dan pertambangan (minerba) dengan luas 10.406.060 hektare.
Operasi ini berdampak panjang pada kerusakan lingkungan dan belum dipulihkan.
Baca juga: PMKRI Cabang Manokwari Minta Pemkab dan Warga Jaga Kebersihan Laut
Pembukaan lahan skala besar mencemari air, udara, dan laut yang mengakibatkan terganggunya kesehatan warga, kerusakan pangan lokal, terutama sekitar tapak tambang.
Rencana ini juga dinilai berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial.
Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektare lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
"Jika turut dalam urusan tambang, sama halnya PMKRI melestarikan persoalan-persoalan yang ada. Ini akan sangat paradoks dengan kerja-kerja kami menjaga kedaulatan lingkungan," ujar Tri Natalia Urada.
Lagipula, ucapnya, PMKRI tidak memiliki kapasitas SDM dan teknologi yang mumpuni untuk mengurus tambang.