Papua Barat Terkini
Tolak DOB Tanah Papua, Ketua DAP: Pemerintah Tidak Menyentuh pada Akar Persoalan
Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) Dominikus Sorabut mengulas alasan menolak wacana pemekaran sejumlah provinsi di Tanah Papua.
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) Dominikus Sorabut mengulas alasan menolak wacana pemekaran sejumlah provinsi di Tanah Papua.
Menurut Dominikus, sejak 2001 hingga 2004 pihaknya telah memiliki kesepakatan dengan negara Indonesia.
"Kita sudah sepakat bahwa pemekaran itu bukan tujuan kami di tanah Papua," ujar Dominikus, kepada TribunPapuaBarat.com, Selasa (31/5/2022).
Ia mengaku, selama ini pihaknya ingin untuk bisa menggelar dialog antara masyarakat adat Papua dengan Jakarta.
Sehingga, akar persoalan di tanah Papua bisa diselesaikan.
Baca juga: Kodam Kasuari Kebut Pengentasan Buta Aksara, Pangdam Gabriel Lema: Jangan Lepas Anak
Baca juga: Pengamat Politik Sebut Megawati dan Jokowi Sedang Tak Akur, Singgung soal Presiden 3 Periode
"Persoalan yang harus dibahas dalam dialog adalah mulai dari sejarah hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua," ungkapnya.
Ia berujar, ketika persoalan ini telah diselesaikan secara dialog maka selanjutnya akan masuk ke pembangunan di Papua.
"Selama ini masyarakat adat Papua melakukan penolakan, karena langkah yang diambil oleh pemerintah tidak menyentuh pada akar persoalan," tuturnya.
Ia menilai, langkah yang ditempuh oleh Jakarta saat ini hanya mendatangkan persoalan baru di tanah Papua.
"Ketika terjadi penumpukan masalah otomatis sering terjadi konflik dan lain sebagainya," ucap Dominikus.
Baca juga: RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya Disetujui, 8 Partai Sepakat 1 Menolak
Orang Papua Minoritas
Tak hanya itu, Dominikus juga membeberkan bahwa saat ini orang asli Papua telah minoritas di atas tanahnya sendiri.
"Saat ini jumlah keseluruhan penduduk di tanah Papua hanya sebanyak dua juta jiwa," imbuhnya.
Jika dibagi, otomatis warga di tanah Papua tidak mencukupi kuota.
"Harusnya jika pemekaran sebuah wilayah minimal orangnya empat juta jiwa. Namun faktanya saat ini hanya dua juta jiwa," jelasnya.