Cerita Septi, Sempat Putus Asa Karena Tunanetra, Kini Lincah Bermain Gitar dan Menabuh Drum
Septinus Manggaprou atau yang akrab disapa Septi, mengalami depresi berat ketika memasuki usia belasan tahun karena menyandang tunanetra.
Penulis: Kresensia Kurniawati Mala Pasa | Editor: Tarsisius Sutomonaio
Laporan Wartawan TribunPapuaBarat.com, Kresensia Kurniawati Mala Pasa
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI- Septinus Manggaprou (41), pria keturunan Biak, Papua Barat, kehilangan kemampuan melihatnya sejak usia tiga tahun.
Kedua mata Septinus Manggaprou buta akibat penyakit sarampa atau lebih dikenal dalam dunia medis sebagai penyakit campak saat usia dini.
"Waktu itu kan orang tua di kampung tra (tidak) kenal imunisasi begitu. Jadi, waktu tong (kita) kena sarampa, akhirnya sampai buta," katanya saat ditemui wartawan di kediamannya di Manokwari, Rabu, (21/9/2022).
Pria kelahiran Manokwari, 26 September 1982, mengatakan, saat awal menjadi tunanetra, itulah kegelapan hidup yang sesungguhnya.
Septinus atau yang akrab disapa Septi, mengalami depresi berat ketika memasuki usia belasan tahun.
Baca juga: Sekilas Tentang Band Tunanetra di Manokwari, Rutin Lakukan Aksi Penggalangan Dana
Dia sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
"Sa pikir, ah hidup macam begini-begini saja, lebih baik mati saja," ucap ayah empat orang anak itu.
Secercah cahaya muncul dalam hidup Septinus Manggaprou muda.
Ketika menginjak umur 15 tahun, Septi mulai mengenyam pendidikan di sekolah dasar luar biasa (SDLB) di Biak.
Di situ ia diperkenalkan dengan huruf braille, bermain musik, dan membuat kerajinan tangan. Baginya, hidup kembali berwarna.
Septi dilatih mempertajam intuisinya di lingkungan sekitar. Sebab, menurutnya, intuisi adalah mata kedua bagi penyandang tunanetra.
Alhasil, jemarinya kini lincah bermain gitar melodi dan menabuh drum dan membuat keset dari sabut kelapa.
Baca juga: Pertuni Manokwari Minta Bantuan Dana untuk Pendataan Tunanetra, Begini Respons Dinsos
Berani Merantau untuk Mandiri
Saking senangnya telah lulus SDLB, Septi memberanikan diri merantau ke luar daerah.
"Sa pergi ikut teman-teman. Tong ke Jayapura, Sorong, Nabire. Tahun 2009, baru sa ke Manokwari, sampai sekarang ini," tutur warga kompleks Taman Ria, Kelurahan Wosi, Manokwari itu.
Dia mengatakan, alasannya merantau, yakni ingin hidup mandiri. Terlepas dari ketergantungan orang tuanya selama ini.
Keset dari sabut kelapa, sapu lidi, dan keterampilan pijat tradisional, itulah yang ditawarkan Septi untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Kendati tergolong disabilitas, Septi enggan menjadi seorang pengemis.
Selama masih bernapas dan kaki tangannya masih bekerja dengan baik, ia akan berjuang untuk makan dari hasil keringatnya sendiri.
"Sa tra takut tersesat di tempat baru karena Tuhan sudah kasih tong insting itu. Malah tong yang sering tuntun arah untuk tukang ojek," ujarnya.
Baca juga: Berangkat dari Literasi, Kegigihan Anak Arfak Berantas Buta Aksara Difilmkan
Terpilih Jadi Ketua DPC Pertuni Manokwari
Jiwa kepemimpinan Septi membuatnya terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Manokwari.
Pemilihannya melalui musyawarah cabang pada Rabu (15/6/2022).
Sebagai ketua, Septi bercita-cita mengkampanyekan pentingnya mengenyam pendidikan bagi para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra.
Menurut dia, masih banyak tunanetra di kampung pedalaman Manokwari yang hingga saat ini mengisolasi diri.
Situasi itu akibat ketidakpercayaan diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya.
Septi percaya, dengan bersekolah, derajat penyandang disabilitas bisa terangkat dan membuat mereka bisa hidup mandiri dan berdaya saing dengan orang normal di lingkungan kerja.
"Pesannya tong harus tetap melangkah, jangan menyerah," kata Septinus Manggaprou.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papuabarat/foto/bank/originals/Septinus-Manggaprou-kiri-bersama-isterinyaFebi-Selaya.jpg)