Info Unipa
Cerita Fajar, Mahasiswa FPIK UNIPA di Balik Sasi Pulau Nusmapi Manokwari
“Kami melihat Pulau Nusmapi kuat dengan ibadahnya. Maka, sasi yang dilakukan adalah sasi gereja,” ujarnya.
Penulis: Kresensia Kurniawati Mala Pasa | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI – Di usianya yang masih 20 tahun, La Ode Muhammad Zidane Fajar, mahasiswa semester 2 jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Papua (UNIPA) sudah aktif mengampanyekan konservasi lingkungan.
Di balik tradisi sasi yang berhasil dilakukan di Pulau Nusmapi atau Pulau Lemon, Manokwari, Papua Barat, perdana pada 2023, ada peran NGO Ecodefender Manokwari yang diketuai La Ode Muhammad Zidane Fajar atau akrab disapa Fajar.
Sasi adalah tradisi di wilayah pesisir Papua dan Papua Barat untuk menjaga ketersediaan biota laut dan memastikan habitatnya dalam kondisi yang baik, dengan membatasi akses penangkapan serta alat tangkap dalam kawasan dan jangka waktu tertentu.
Baca juga: Laut Dijaga, Warga Pulau Nusmapi Manokwari Sukacita Panen Hasil Sasi
Baca juga: Konservasi Indonesia Kukuhkan Jejaring Sasi Bentang Laut Kepala Burung Papua
Dari 48, 830 hektare laut pesisir Pulau Nusmapi yang masuk kawasan sasi, 10,564 hektare mencakup terumbu karang dan 37,866 hektare meliputi laut pesisir Pulau Nusmapi.
“Ecodefender berada di bawah Econusa. Memang ini (sasi) adalah salah satu proyek kami bekerja sama dengan PHMJ GKI Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi dan beberapa komunitas seperti Kawal dan KDC,” jelas Fajar kepada TribunPapuaBarat.com, di Manokwari, Selasa (28/5/2024).
Ia mengatakan, ikhtiar sasi pertama kali tebersit saat “Kemah Pemuda Manokwari” pada 2022 di Tanjung Kawal Pulau Nusmapi.
Dari situ, ucapnya, Ecodefender mulai mengajak masyarakat Pulau Nusmapi berkolaborasi bersama beberapa NGO untuk melakukan satu aksi perubahan.
Kemah Pemuda Manokwari kembali diadakan pada 2023 di tempat yang sama.
Fajar mengaku, pada saat itu, pihaknya mencoba menggali lebih jauh potensi Pulau Nusmapi.
Hingga akhirnya konservasi kelautan berbasis kearifan lokal melalui sasi untuk pertama kalinya berhasil dilakukan pada 31 Maret 2023.
“Kami melihat Pulau Nusmapi kuat dengan ibadahnya. Maka, sasi yang dilakukan adalah sasi gereja,” ujarnya.
Diakuinya, pembukaan sasi pada Sabtu, (25/5/2024) di luar ekspektasi Ecodefender. Lantaran, antusias masyarakat Pulau Nusmapi dalam memanen hasil sasi.
Ia menyebut, sasi Pulau Nusmapi akan kembali ditutup pada Agustus 2024 mendatang. Tetapi, ucapnya, masyarakat meminta kawasan sasi diperkecil karena selama ini nelayan melaut cukup jauh dari Pulau Nusmapi untuk mendapatkan ikan.
Sehingga, menurut dia, hal ini akan menjadi pertimbangan dalam penetapan kawasan sasi di Pulau Nusmapi untuk satu tahun ke depan.
“Untuk anak muda, jangan pernah takut untuk melangkah untuk mencoba hal baru. Cobalah untuk lakukan dulu, hasilnya akan mengikuti,” tutur Fajar semringah.
Diwartakan TribunPapuaBarat.com sebelumnya, Koordinator Urusan PI Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) Gereja Kristen Indonesi (GKI) Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi Yoseph Raubaba mengatakan, sasi akan kembali ditutup pada 1 Agustus 2024 mendatang.
“Hasil sasi kurang lebih satu tahun 65 hari ini hasilnya sangat memuaskan, Sebelum sasi, ikan-ikan banyak yang takut, namun setelah sasi ikan-ikan tersebut sudah tidak takut,” ungkap Yoseph Raubaba kepada (TribunPapuaBarat.com, 25/5/2024).
Ia menyebut, sebagian besar masyarakat di Pulau Nusmapi, termasuk dirinya sendiri, bermata pencaharian sebagai nelayan.
Dengan pemberlakuan sasi, ucapnya, nelayan terpaksa melaut bermil-mil jauhnya ke wilayah perairan Oransbari, Manokwari Selatan hingga ke Numfor.
Ia mengatakan, selain dilarang menangkap ikan di kawasan sasi, tapi para nelayan juga dilarang penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti dengan menggunakan bom, potassium, dan linggis yang dipakai untuk membongkar karang.
Tatapi diakuinya, para nelayan Pulau Nusmapi legawa menjalankannya karena sadar bahwa sasi mampu membuat biota laut bertambah banyak yang akan mendatangkan keuntungan ekologis maupun ekonomi bagi masyarakat Pulau Nusmapi, hingga ke keturunan selanjutnya.
Menurut dia, dahulu warga Pulau Nusmapi memandang sasi sebagai upacara adat dengan peran roh leluhur membantu agar biota laut bertambah banyak. Kini, makna sasi bagi warga Pulau Nusmapi lebih luas sebagai bentuk ucapan syukur dan merawat ciptaan Tuhan.
“Salah satunya hasil ikan itu untuk membantu proses penerimaan dalam jemaat. Apa yang Tuhan punya kita kembalikan ke Tuhan,” tuturnya semringah.
Joel Rumbobiar, pemilik hak ulayat Pulau Nusmapi mengaku, awalnya sebagian masyarakat menolak sasi.
Kendati begitu, saat ini masyarakat Pulau Nusmapi berkomitmen meneruskan sasi di tahun-tahun mendatang, selain sebagai upaya konservasi lingkungan, tapi juga sebagai daya tarik wisata pulau yang dihuni 40-an kepala keluarga itu.
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papuabarat/foto/bank/originals/MzF32.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.