Berita Fakfak

Kisah Masuknya Agama Katolik di Kota Pala Fakfak, Mengadung Nilai Toleransi dan Cinta Kasih

ia mengatakan kisah perjalanan Pastor Le Cocq dan keluarga Muslim di Kampung Sekru merupakan bukti rasa cinta kasih dan toleransi

|
Penulis: redaksi | Editor: Libertus Manik Allo
Tribun-Papua.com//Aldi Bimantara
Kapitan Kampung Sekru Tayib Biarpruga saat menceritakan kisah penyebaran Agama Katolik pertama kali masuk di Kampung Sekru, Fakfak, Papua Barat. 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Penyebaran Agama Katolik di Tanah Papua dimulai dari Kampung, Sekru, Distrik Pariwari, Fakfak, Papua Barat pada 1894.

Kala itu, Agama Katolik dibawa oleh seorang misionaris bernama Pastor Le Cocq d'Armandville SJ dengan menumpangi kapal milik warga Arab.

Kisah masuknya Agama Katolik di Kampung Sekru itu diungkapkan oleh Kapitan Kampung Sekru di Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak, Papua Barat bernama Tayib Biarpruga.

Baca juga: Seminar 129 Tahun Misi Katolik di Tanah Papua, Menelusuri Jejak Pastor Cornelis Le Cocq di Fakfak

Baca juga: Pencanangan Misi Katolik Akan Jadi Destinasi Wisata Religi di Kabupaten Fakfak

"Saya ini adalah keturunan kelima dari Keluarga Biarpruga yang menerima Agama Katolik di Kampung Sekru, Kabupaten Fakfak," ungkap Tayib dikutip Tribun-Papua.com di Fakfak Papua Barat, Senin (22/5/2023). 

Tayib menjelaskan Agama Katolik masuk ke Papua pada 1894 silam di Kampung Sekru, Distrik Pariwari Kabupaten Fakfak, Papua Barat oleh Pastor Le Cocq d'Armandville SJ.

Saat itu Bapak Pastor Le Cocq tiba pertama kali di Kampung Sekru dan disambut oleh nenek moyangnya yakni, Biarpruga, Samain dan Serkanasa.

"Saat itu menurut cerita dari moyang kami, orang Arab bawa Pastor Le Cocq tiba di Sekru karena pada saat itu ia biasanya sandar di kampung tersebut yang mayoritas sudah memeluk Agama Islam," ujarnya. 

Tayib menuturkan, informasi kedatangan Pastor Le Cocq tersebar melalui para penumpang yang ada di atas kapal tersebut.

"Mereka saling baku kasi tahu dan penasaran dengan tujuan kedatangan orang kulit putih itu. Apakah mau membeli rempah-rempah misalnya karena pada saat itu Pala dan Damar menjadi komoditi populer untuk diperjualbelikkan," ucapnya. 

Lanjut Tayib, nenek moyangnya pun bertanya kepada Pastor Le Cocq perihal maksud dan tujuan kedatangannya di Kampung Sekru, Fakfak Papua Barat. 

Sontak Pastor Le Cocq menjelaskan kedatangannya bukan untuk mencari hasil bumi. 

Melainkan membawa suatu agama baru yang akan menjadi terang di dalam kegelapan sembari menunjukkan Alkitab yang dibawanya.

Hal itu membuat nenek moyang Tayib, bertanya mengenai kitab tersebut. 

"Saat ditanya begitu, Pastor Le Cocq menjawab ini adalah Injil yang mengajarkan orang atau manusia untuk tahu akan Tuhan," ucapnya. 

Setelah mendengar penjelasan dari Pastor Le Cocq, nenek moyang Biarpruga meminta Pastor Le Cocq untuk bermalam di Kampung Sekru.

Nenek moyang Biarpugra pun memanggil keluarga yang berada di daerah pegunungan.

Saat itu, orang-orang di wilayah pegunungan itu belum beragama.

"Pada saat itu, nenek moyang kami Biarpruga mengatakan kepada Pastor Le Cocq alasannya karena kami sudah menerima Al-Quran terlebih dahulu, makanya kami ingin saudara-saudara kami di gunung yang belum beragama bisa menerima Al-Kitab," kisahnya.

Singkat cerita, saat saudara-saudara dari gunung menerima Agama Katolik sebagai kepercayaan yang mereka yakini.

"Kemudian saudara-saudara kami dari Torea yang tinggal di pegunungan itu mengantarkan Pastor Le Cocq ke suatu kolam air yang letaknya tak begitu jauh, lalu Pastor Le Cocq memberkati air tersebut," cerita Tayib. 

Tayib ingat betul cerita dari moyangnya, Pastor Le Cocq memberkati air tersebut dengan bahasa pemberkatannya bermakna syukur kepada Tuhan.

Dari kalimat itu, mmuncul nama Kampung Sekru. 

"Jadi dari cerita atau peristiwa ini, saya juga mau katakan bahwa usia Kampung Sekru atau nama Sekru ini sudah ada sejak 129 tahun lalu," tandasnya. 

Dalam kesempatan itu, ia mengatakan kisah perjalanan Pastor Le Cocq dan keluarga Muslim di Kampung Sekru merupakan bukti rasa cinta kasih dan toleransi yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Kabupaten Fakfak di Provinsi Papua Barat nyatanya bukan hanya dikenal sebagai kota toleransi semata dengan Semboyan hidup "Satu Tungku Tiga Batu" yang menjadi slogan, tetapi nilai-nilai hidup berdampingan saling bertoleransi telah ada sejak dahulu. 

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved