Berita Fakfak

Pemkab Fakfak Fokus Kelola Potensi Perikanan, Erwin Sahetapi: Telur Ikan Terbang Menjanjikan

untuk mengambil telur ikan terbang di laut, para nelayan harus membuat bubu dari dari anyaman daun kelapa. 

|
Penulis: Aldi Bimantara | Editor: Libertus Manik Allo
TribunPapuaBarat.com//Aldi Bimantara
IKAN TERBANG - Potret kapal nelayan pencari telur ikan terbang yang berada di perairan Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, Senin (9/10/2023). 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, FAKFAK - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Fakfak melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) fokus Kelola potensi perikanan.

Kepala DKP Fakfak Erwin Sahetapi mengatakan, dari segala potensi perikanan yang ada di Fakfak, telur ikan terbang yang saat ini menjadi incaran banyak nelayan.

Bahkan, tidak hanya nelayan lokal tetap nelayan dari luar Fakfak juga ikut mencari telur ikan terbang.

Baca juga: Kantor Bea dan Cukai Manokwari Rencana Bangun Ekspor Ikan Tuna Langsung dari Manokwari

Baca juga: Nelayan Mancing di Ransiki Mansel Keluhkan Monopoli Ikan di Pantai Raipawi: Tolong Ditertibkan

"Perlu diketahui saat ini, ada lebih dari 2.000 keluarga di Kabupaten Fakfak yang bergantung hidupnya pada sektor perikanan," ungkap Erwin saat diwawancarai TribunPapuaBarat.com di kantornya, Senin (9/10/2023).

Erwin mengatakan, potensi yang dimiliki Kabupaten Fakfak dalam sektor perikanan sangat besar. 

Mulai dari produksi ikan tangkapan dan juga kepiting. 

"Tetapi memang yang kontribusinya paling besar di Fakfak yaitu telur ikan terbang," ujarnya.

Menurutnya, periode Mei hingga Oktober 2023, nelayan dari luar daerah berbondong-bondong ke perairan Fakfak untuk mencari telur ikan terbang.

Sementara untuk mengambil telur ikan terbang di laut, para nelayan harus membuat bubu dari dari anyaman daun kelapa. 

"Kemudian saat periode Mei hingga Oktober nanti, para nelayan ini hanya menaruh bubu dari daun kelapa tersebut ke tengah laut dan menunggu sehari, maka tinggal diangkat dan dipanen," jelasnya.

Ia mengungkapkan, harga telur ikan terbang bisa mencapai Rp 950 ribu per kilogramnya.

Sehingga, ke depan jika bisa diolah secara lebih serius, maka harganya dapat jauh lebih mahal. 

"Terlebih akses pasarnya bisa terbuka secara lebih luas hingga dipasarkan ke China dan Eropa," ucapnya.

Disinggung soal kendala yang dihadapi pihaknya, Erwin mengemukakan persaingan antara nelayan lokal dan nelayan dari luar jelas terjadi. 

"Selain kalah saing, nelayan lokal kita juga mengalami kesulitan memperoleh bahan bakar bersubsidi dan kesulitan memperoleh pasokan es," bebernya.

Ia juga mengaku miris melihat nelayan lokal yang berasal dari pulau-pulau, harus datang ke pusat kota untuk mencari BBM bersubsidi. 

"Tetapi sayangnya mereka pulang tidak membawa apa-apa, untuk itu ini menjadi tantangan bagi kami," ujarnya. 

Erwin menambahkan, pihaknya akan terus memperkuat daya saing nelayan lokal dengan memberikan pembinaan termasuk bantuan.

(*) 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved