Berita Manokwari

Laut Dijaga, Warga Pulau Nusmapi Manokwari Sukacita Panen Hasil Sasi

Tak butuh waktu lama bagi warga untuk mengumpulkan ikan sebanyak satu karung beras ukuran 5 kg.

|
TribunPapuaBarat.com//Kresensia Kurniawati
SASI LAUT - Masyarakat Pulau Nusmapi atau Pulau Lemon, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, dipenuhi sukacita memanen hasil sasi pada Sabtu, (25/5/2024). 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI – Masyarakat Pulau Nusmapi atau Pulau Lemon, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat, dipenuhi sukacita memanen hasil sasi pada Sabtu, (25/5/2024).

Sasi di kawasan laut pesisir Pulau Nusmapi seluas 48, 830 hektare itu dibuka setelah ditutup lebih satu tahun terhitung mulai 31 Maret 2023.

Sasi adalah tradisi di wilayah pesisir Papua dan Papua Barat untuk menjaga ketersediaan biota laut dan memastikan habitatnya dalam kondisi yang baik, dengan membatasi akses penangkapan serta alat tangkap dalam kawasan dan jangka waktu tertentu.

Baca juga: Konservasi Indonesia Kukuhkan Jejaring Sasi Bentang Laut Kepala Burung Papua

Baca juga: Masyarakat Adat Mairasi Kaimana Sasi Laut, Freddy Thie: Sikap Kepedulian Menjaga Alam

Buka sasi di Pulau Nusmapi diawali dengan ibadah yang digelar di halaman kantor Kawal atau Komunitas Anak Wondama Abdi Lingkungan Papua Barat, Sabtu (25/5) siang.

Masih dalam suasana doa, Pendeta Benyamin Komegi yang memimpin ibadah, dan warga berjalan kaki ke pesisir Tanjung Kawal.

Di situ, Joel Rumbobiar, pemilik hak ulayat Pulau Nusmapi, menandai pembukaan sasi secara simbolis dengan mencabut tiang kayu berbendera merah di ujungnya.

Kemudian, perwakilan Sinode GKI di Tanah Papua menggunakan kalawai, alat tangkap ikan tradisional untuk menangkap seekor ikan, diikuti warga lainnya setelah ibadah ditutup.

Hasil panen sasi yang pertama berupa ikan segar satu cooler box styrofoam lalu dilelang sebagai penerimaan GKI Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi.

Pantauan TribunPapuaBarat.com, penangkapan biota laut saat buka sasi dilakukan secara tradisional.

Warga langsung menangkapnya dengan tangan atau menggunakan tombak dan gate-gate (alat penangkap lobster berbahan nilon).

Saat menyelam, mereka memakai kacamata renang, snorkel, dan fins.

Warga yang memanen hasil sasi bukan hanya masyarakat Pulau Nusmapi, tapi ada yang datang dari Pulau Mansinam dan dari pusat kota Manokwari.

Tak butuh waktu lama bagi warga untuk mengumpulkan ikan sebanyak satu karung beras ukuran 5 kg.

Sasi di Pulau Nusmapi digagas Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) Gereja Kristen Indonesi (GKI) Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi, dan didampingi sejumlah NGO atau LSM seperti Kawal (Papua Barat, Ecodefender, Econusa, serta Ketapang Dive Community.

Dari 48, 830 hektare laut pesisir Pulau Nusmapi yang masuk kawasan sasi, 10,564 hektare mencakup terumbu karang dan 37,866 hektare meliputi laut pesisir Pulau Nusmapi.

Koordinator Urusan PI PHMJ GKI Bahtera Utrecht Pulau Nusmapi Yoseph Raubaba mengatakan, sasi akan kembali ditutup pada 1 Agustus 2024 mendatang.

“Hasil sasi kurang lebih satu tahun  65 hari ini hasilnya sangat memuaskan, Sebelum sasi, ikan-ikan banyak yang takut, namun setelah sasi ikan-ikan tersebut sudah tidak takut,” ungkap Yoseph Raubaba kepada TribunPapuaBarat.com, di Pulau Nusmapi, Manokwari, Sabtu (25/5/2024).

Ia menyebut, sebagian besar masyarakat di Pulau Nusmapi, termasuk dirinya sendiri, bermata pencaharian sebagai nelayan.

Dengan pemberlakuan sasi, ucapnya, nelayan terpaksa melaut bermil-mil jauhnya ke wilayah perairan Oransbari, Manokwari Selatan hingga ke Numfor.

Ia mengatakan, selain dilarang menangkap ikan di kawasan sasi, tapi para nelayan juga dilarang penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti dengan menggunakan bom, potassium, dan linggis yang dipakai untuk membongkar karang.

Tatapi diakuinya, para nelayan Pulau Nusmapi legawa menjalankannya karena sadar bahwa sasi mampu membuat biota laut bertambah banyak yang akan mendatangkan keuntungan ekologis maupun ekonomi bagi masyarakat Pulau Nusmapi, hingga ke keturunan selanjutnya.

Menurut dia, dahulu warga Pulau Nusmapi memandang sasi sebagai upacara adat dengan peran roh leluhur membantu agar biota laut bertambah banyak. Kini, makna sasi bagi warga Pulau Nusmapi lebih luas sebagai bentuk ucapan syukur dan merawat ciptaan Tuhan.

“Salah satunya hasil ikan itu untuk membantu proses penerimaan dalam jemaat. Apa yang Tuhan punya kita kembalikan ke Tuhan,” tuturnya semringah.

Joel Rumbobiar, pemilik hak ulayat Pulau Nusmapi mengaku, awalnya sebagian masyarakat menolak sasi.

Kendati begitu, saat ini masyarakat Pulau Nusmapi berkomitmen meneruskan sasi di tahun-tahun mendatang, selain sebagai upaya konservasi laut tapi sekaligus sebagai daya  tarik wisata.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved