Berita Fakfak
Kajati Papua Barat Beberkan Praktek Kotor Pengadaan Barang dan Jasa di Dua Provinsi
sepanjang 2024 dari sejumlah penindakan disinyalir bahwa rata-rata kegiatan pengadaan barang dan jasa di sini (Papua Barat-PBD) sarat penyimpangan.
Penulis: Hans Arnold Kapisa | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat akan fokus pada pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa yang disinyalir sebagai sasaran korupsi di lingkungan pemerintah dua provinsi.
Pembenahan sistem bidang pengadaan barang dan jasa meliputi seluruh kegiatan pengadaan setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya (PBD).
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Barat, Muhammad Syarifuddin menyatakan pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa wajib dilaksanakan seluruh jajaran Kejati se Indonesia sesuai arahan Jaksa Agung dan Presiden RI.
Baca juga: Pidar Desak Kejati Papua Barat Libatkan PPATK Telusuri Aliran Dana Proyek Jalan Mogoy-Merdey
Baca juga: Jaksa Bakal Jemput Paksa Direktur CV GBP, Kontraktor Proyek Jalan Mogoy-Merdey
"Selain penindakan dan pengembalian kerugian negara, Kejati dan jajaran juga diperintahkan melakukan perbaikan sistem agar korupsi di unit (SKPD) terkait tidak terulang kembali," kata Syarifuddin dalam konferensi pers di kantor Kejati Papua Barat di Arfai Manokwari, Selasa (11/2/2025).
Karena lanjut Syarifuddin, sepanjang 2024 dari sejumlah penindakan disinyalir bahwa rata-rata kegiatan pengadaan barang dan jasa di sini (Papua Barat-PBD) sarat penyimpangan.
"Salah satu indikasinya, yakni penyelesaian pekerjaan di akhir tahun sering mereka 100 persen-kan walaupun secara nyata (fisik) pekerjaan di lapangan belum mencapai 100 persen," buka Syarifuddin.
Sehingga, kata Syarifuddin, "mereka" mensiasati dengan mewajibkan kontraktor atau penyedia untuk membuat Bank Garansi sebesar nilai pekerjaan yang belum tuntas 100 persen itu.
"Mereka" yang dimaksud dalam proses pengadaan barang dan jasa adalah SKPD Pemerintah selaku pemberi jasa dan kontraktor (penyedia) yang melaksanakan kegiatan pengadaan.
"Misalnya kegiatan fisik baru 70 persen, maka 30 persen sisanya dibuat bank garansi untuk dijaminkan di bank bahwa pekerjaan itu akan diselesaikan," sebut Kajati.
Padahal kata Kajati, bahwa proses tersebut adalah bagian dari penyimpangan karena melanggar mekanisme pengadaan barang dan jasa yang berlaku.
"Bahkan dalam proses penyelidikan banyak juga ditemukan bahwa bank garansi yang dibuat dalam sejumlah kegiatan pengadaan tidak benar alias bodong atau fiktif," ujarnya.
Bahkan meskipun ada bank garansi, sebut Kajati, tetap saja tidak bisa dilaksanakan karena tidak ada kekuatan dari pihak pemerintah (SKPD) terkait untuk memaksa kontraktor menyelesaikan pekerjaan tersebut karena secara yuridis formal pekerjaan itu sudah dinyatakan selesai 100 persen.
"Bagian inilah yang menjadi cela para kontraktor pembuat bank garansi bisa kabur karena tidak ada jaminan bagi dia untuk menyelesaikan pekerjaan itu, apalagi tidak diberi sanksi pinalti atas keterlambatan pekerjaan," ujar Kajati.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.