Berita Papua Barat
Presma UNIPA Tolak Revisi RUU TNI, Ancaman terhadap Demokrasi dan Masa Depan Bangsa
Yenuson Rumaikeuw mengajak seluruh pihak, khususnya generasi muda, untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI
Penulis: Matius Pilamo Siep | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Papua Yenuson Rumaikeuw mengkritik keras revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah digodok di DPR RI.
Yenuson menegaskan, RUU TNI merupakan kebijakan yang dapat memperburuk peluang kerja bagi Warga Negara Indonesia (WNI).
Dalam pandangannya, jika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menetapkan RUU TNI yang memungkinkan dwifungsi ABRI, hal tersebut akan membawa negara kembali ke masa-masa Orde Baru.
Baca juga: Presma UNIPA Minta Perpanjangan Waktu Pembayaran SPP, Ini Tanggapan Pihak Kampus
Baca juga: Resmi Dilantik, Presma Unipa Akan Aktifkan BEM Fakultas dan Himpunan Ketua Jurusan Mahasiswa
"Dwifungsi TNI adalah gagasan yang diterapkan pada masa pemerintahan Orde Baru, yang memberikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) TNI memiliki dua peran utama diantaranya, menjaga keamanan dan ketertiban negara serta mengatur dan memegang kekuasaan negara," kata Yenuson saat diwawancarai Tribun, Kamis (20/3/2025).
Menurut Yenuson, jika konsep ini diterapkan kembali melalui revisi RUU TNI, maka masa depan negara demokrasi bisa terancam oleh konsolidasi kekuasaan yang otoriter.
"Hal ini tentunya akan menghancurkan masa depan negara demokrasi yang kita cita-citakan, karena kekuasaan akan terpusat di tangan segelintir orang," ujar Yenuson.
Yenuson juga mengkritik proses pembentukan RUU TNI yang dinilai cacat secara hukum, dan tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasalnya sambung Yenuson, RUU ini tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tidak ada draf naskah akademik yang jelas, serta tidak transparan dalam proses penyusunannya.
Selain itu, tidak ada upaya untuk mendengarkan masukan dari rakyat.
"Proses pembentukan RUU TNI ini mencerminkan kegagalan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada DPR, yang seharusnya mewakili suara rakyat, namun kini malah dianggap sebagai dewan penghianat rakyat," tegas Yenuson.
Yenuson mengungkapkan penolakan terhadap RUU TNI ini bukan hanya berdasarkan aspek hukum, tetapi juga karena sejumlah aspek lain yang dinilai merugikan masyarakat, antara lain:
1. Aspek Hukum, Revisi UU TNI dapat mengancam netralitas peradilan dan memberikan kekebalan hukum kepada TNI, yang berpotensi meningkatkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Selain itu, hal ini bisa menurunkan profesionalisme dalam militer, yang seharusnya melindungi negara dan rakyat, namun malah akan digunakan untuk melindungi kekuasaan pemerintah.
2. Aspek Budaya dan Hak Adat, Keterlibatan aparat militer dalam proyek-proyek strategis nasional, seperti pembangunan pagar laut di Tangerang dan pembukaan lahan di Merauke, berpotensi mengancam hak-hak masyarakat adat. Masyarakat sering kali diintimidasi dan dipaksa mengungsi karena hak ulayat tanah mereka diambil secara paksa untuk kepentingan proyek strategis.
3. Aspek Ekonomi, Proyek-proyek strategis nasional yang berlokasi di daerah penghidupan masyarakat, seperti lahan pertanian dan laut, menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mencari nafkah. Ketersediaan lahan perkebunan semakin terbatas, dan hasil laut diambil secara besar-besaran, yang mengarah pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
4. Aspek Pendidikan, penyalahgunaan atribut militer di sekolah-sekolah, terutama di Papua, mengganggu proses pendidikan. Kehadiran senjata tajam di lingkungan pendidikan merusak psikologi anak-anak, yang seharusnya fokus untuk belajar, namun terganggu oleh atmosfer ketakutan akibat tindakan aparat militer.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.