Berita Manokwari
Kisah Siana Woria, Melestarikan Budaya Papua Lewat Kuliner Sagu Forno
Kisah Siana Woria, Melestarikan Budaya Papua Lewat Kuliner Sagu Forno meskipun di tengah gempuran makanan cepat saji, ia pun telah mengajarkan anaknya
Penulis: Kresensia Kurniawati Mala Pasa | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Banyak hal yang dapat dilakukan dalam menjaga budaya, satu diantaranya dengan kuliner.
Demikian hal itu dilakukan oleh perempuan asal Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Siana Woria (72).
Perempuan yang telah berusia lanjut ini tetap mempertahankan usaha Sagu Fornonya di tengah gempuran makanan cepat saji.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Pedagang Es Kelapa Muda Berhasil Kuliahkan Tiga Anaknya Hingga Jadi Sarjana
Baca juga: Kisah Erna, Penjual Pinang di Pelabuhan Manokwari Raup Untung Musim Mudik Nataru
Siana Woria, memilih Pasar Sanggeng sebagai tempat menjajakan kuliner Sagu Fornonya.
"Iya, kalau di Pasar Sanggeng, hanya saya sendiri yang jualan sagu forno ini. Di Pasar Borobudur juga ada kalau sore-sore," kata Siana Woria saat ditemui tribunpapuabarat.com di Pasar Sanggeng, Senin (9/1/2023).
Dikatakannya, kepandaiannya dalam membuat Sagu Forno diperoleh dari sang ibu.
Sejak kecil ia diajarkan cara membuat sagu forno.
Hal itu pun ia teruskan ke anak perempuan serta cucunya dengan harapan agar makanan khas Papua itu tidak hilang dihantam zaman.
"Sa biasa lihat dan bantu mama masak. Lalu belajar bakar sagu sendiri, sampai akhirnya mulai jualan," ujar ibu dua anak itu.
Siana Woria menjelaskan, kata 'forno' merupakan sebutan untuk cetakan sagu bakar yang terbuat dari tanah liat dan terdiri dari beberapa kotak persegi panjang.
Kendati masyarakat Papua pada umumnya tahu membuat sagu bakar, tetapi Siana Woria mengaku tak semua mampu memasak sagu forno.
Tak heran, selama berjualan di Pasar Sanggeng, ia kerap meladeni pertanyaan mama-mama Papua untuk berbagi resep sagu forno.
Ia pun tak sungkan membeberkan mulai dari alat, bahan dan tahapan membuat sagu forno.
"Kalau sa buat dalam jumlah banyak, maka bahannya itu mulai dari sagu asli, empat kelapa parut setengah tua, gula pasir satu kilo dengan gula merah setengah kilo," bebernya.
Setelah bahan terkumpul, ucapnya, sagu terlebih dahulu dijemur selama satu hari hingga kering betul.
Lalu sagu diayak untuk memisahkan bongkahan dan menyisakan tepung sagu halus.
Tepung sagu dicampur kelapa parut yang sebelumnya telah digoreng dengan gula pasir.
Sementara menyatukan adonan sagu forno, cetakan sagu lempeng dipanaskan di atas nyala kayu api.
"Adonan tong (kita) kasih masuk ke cetakan. Lalu kasih masuk gula merah di atasnya, baru tong tutup cetakannya dengan daun pisang," ucapnya.
Tak butuh waktu lama untuk membakar sagu forno, cukup menjaga nyala api agar tetap stabil, maka sekira 20 menitan, sagu forno bisa diangkat dari cetakan.
Tanda sagu forno telah masak sempurna yakni dari warnanya yang telah berubah cokelat karamel.
Ditambah aromo kelapa bakar telah tercium.
Sehingga, ketika sagu forno dimakan, rasa gurih dan manis menyatu di lidah tiap kali gigitan.
"Paling cocok kalau dimakan sambil minum teh atau kopi," ucapnya.
Bagi dia, memasak dan berjualan Sagu Forno tak sekadar berwirausah tetapi merawat makanan tradisional Papua agar tetap lestari.
"Anak perempuan saya juga tahu bakar sagu forno, jadi dia juga sering jualan kalau saya pulang Serui," imbuhnya.
Satu bungkus Sagu Forno ia jual seharga Rp 10.000.
Dalam sehari, Siana Woria bisa mengantongi uang sejumlah Rp 200.000-300.000.
"Biar ada banyak jajanan di pasar, orang-orang juga masih banyak yang suka makan sagu forno," pungkasnya.
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papuabarat/foto/bank/originals/Penjual-Sagu-Forno.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.