Berita Manokwari
Kisah Otobaja Tarami, dari Pemburu jadi Pelestari Penyu, Masuk Nominasi Penerima Kalpataru 2023
Mendirikan penakaran penyu sebagai cara ia menebus dosa tatkala menjadi predator penyu
Penulis: Kresensia Kurniawati Mala Pasa | Editor: Libertus Manik Allo
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Pendiri penangkaran Penyu Manduni Putera, Otobaja Tarami (66) masuk dalam nominasi peraih Kalpataru 2023.
Saat ditemui, Oto dan kedua rekannya, sedang menenteng ember berisi air laut dari Pantai Asai Teluk Indah ke konstelasi penangkaran penyu.
Cuaca kala itu di Kampung Mubraidiba, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, mendung disertai angin kencang.
Baca juga: Cara Komunitas Ketapang Kwawi Melestarikan Penyu di Manokwari
Baca juga: Kisah Pasutri Panutan Buat Penangkaran Penyu, Sudah Lepas 3 Ribuan Tukik di Pantai Bremi Manokwari
Air itu kemudian ditumpahkan di dua bak penampung.
Masing-masing berisi tukik penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu lekang atau sisik semu (Lepidochelys olivacea), berusia satu minggu.
“Air di bak (berisi tukik) harus diganti dua kali seminggu. Jadi begini sudah, tong (kita) ambil air laut dari pantai, isi di bak, “ kata Otobaja Tarami kepada TribunPapuaBarat.com.
Pria kelahiran Serui, 28 Oktober 1956 itu mengatakan, penangkaran penyu tersebut dirintis sejak 2015.
Oto tidak pernah mengenyam sekolah atau latihan khusus tentang bagaimana cara penangkaran penyu.
Semua itu ia lakukan bermodal ingatan masa kecil di Serui.
Kala itu, Oto membenamkan telur penyu di ember berisi pasir dan menjaga suhunya tetap stabil, antara 27 ℃ sampai 30 ℃.
Enam puluh hari kemudian, telur itu menetas dan menyembul seekor anak penyu lekang.
Kendati begitu, Oto muda tidak berhenti memburu penyu untuk menjual telur dan dagingnya di pasaran.
Tiap musim bertelur penyu yakni pada Februari, Maret, April, Mei, Oktober, November dan Desember, Oto siap memburu keempat jenis penyu yang naik bertelur di bibir pantai saat siang dan malam hari.
Oto menyebut, daging satu ekor penyu hijau (Chelonia mydas) di pasar ‘gelap’ bisa dibanderol harga Rp 200 sampai 300 ribu.
"Untuk jenis penyu lain yang bisa ditemukan di sepanjang Pantai Amban sampai Kali Kasih, yaitu penyu sisik dengan nama latin Eretmochelys imbricata," ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, Oto mulai meninggalkan kebiasaan buruknya memburu keempat jenis penyu, tersebut.
Kesadaran itu ketika Oto memasuki usia purna tugas sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Universitas Papua.
“Waktu itu, saya duduk di teras rumah sambil lihat orang dengan mobil angkut penyu 18 ekor dalam sehari. Saya juga teringat sudah berapa banyak penyu yang saya bunuh. Kalau begini terus, penyu bisa-bisa punah,” kenang Otobaja Tarami.
“Saya tidak ingin anak cucu hanya bisa tahu ada penyu tapi tidak bisa lihat bentuknya seperti apa, karena sudah punah,” tambah lulusan sarjana hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari itu.
Dengan alasan itulah, Oto akhirnya memulai penangkaran penyu secara swakelola pada 2015.
Langkah awal yang Oto lakukan ialah membuat rumah penetasan telur dan penampungan tukik semi-permanen.
Usaha konservasi itu pun dilirik oleh pemerintah pusat, Papua Barat, Kabupaten Manokwari dan organisasi sosial tingkat nasional.
Dianataranya, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia atau KEHATI, Conservation International (CI) dan United States Agency for International Development (USAID).
Alhasil, kegiatan konservasi itu mendapat bantuan uang tunai bernilai puluhan hingga ratusan juta.
Uang tersebut digunakan Oto untuk membangun rumah permanen penetasan telur berukuran 10×7 meter.
Konstelasi penetesan telur yang berdampingan dengan rumah penangkaran tukik dilengkapi bak penampung, itu berdiri di antara lahan Konservasi Penangkaran Penyu Manduni Putera seluas 3.500 meter persegi.
“Kadang dari dana bantuan itu saya juga pakai untuk beli telur dari masyarakat. Satu sarang telur dari satu induk penyu, saya bayar 100 ribu (rupiah). Tapi, dari awal memang lebih banyak pakai uang pribadi untuk ambil telur itu dari masyarakat,” ucap ayah sembilan anak itu.
Pria yang menetap di Manokwari sejak 1969, itu mengatakan, pada 17 Agustus 2018, ia menginisiasi pelepasliaran 4.000 tukik bersama warga Distrik Manokwari Utara, mahasiswa dan dosen Unipa serta pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat.
Alhasil, kegiatan itu menyedot atensi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.
Bahkan sambung Oto, KKP sampai mendirikan pos pengawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di area Konservasi Penangkaran Penyu Manduni Putera milik Otobaja Tarami.
“Jadi, kita tidak hanya penangkaran penyu tapi rangkap jadi petugas patroli. Kita kalau sudah jalan patroli, itu orang takut untuk ambil penyu. Jadi, sekarang sudah tidak banyak orang yang jadi predator penyu seperti dulu lagi,” tutur kakek dari 24 cucu dan sembilan cicit itu.
Ekstensifikasi Jadi Tiga Cabang di Manokwari
Saat memulai penangkaran penyu, Otobaja Tarami kerap mendapat pemeo dari masyarakat sekitar.
Walau begitu, tidak membuat Oto menjadi limbung dengan tekadnya melestarikan penyu, hewan yang telah dilindungi dengan Peraturan Pemerintaj Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Kegigihan Oto itulah yang mengubah pola pikir tiga rekannya, yang dulu kerap menyuplai telur penyu.
Bahkan, ketiga temannya itu mengikuti jejak Oto menjadi penangkar penyu.
Ketiga temannyq itu yakni, Nataniel Merino yang mendirikan Penangkaran Penyu Wau (penyu dalam bahasa Biak) di Kampung Nuni, Distrik Manokwari Utara pada 2020.
Setahun berikut, menyusul Fredik Mandacan membangun Penangkaran Penyu Darouw (penyu dalam bahasa Meyah) di Kampung Bremi, Distrik Manokwari Utara.
Abner Mandacan, menjadi yang terakhir bergabung dengan Oto memulai penangkaran penyu di daerah Muara Prafi.
Terhitung sejak 2015 hingga 2022, Konservasi Penangkaran Penyu Manduni Putera sudah melepasliarkan 28.245 tukik kembali ke habitat aslinya.
“Kalau di Nuni (penangkaran penyu) sudah lepas 5.400 tukik, di Bremi sudah lepas 3.500 tukik penyu,” tandas Otobaja Tarami semringah.
Oto menambahkan, masuk menjadi nominasi peraih Kalpataru bukan menjadi tujuan utamanya.
"Mendirikan penakaran penyu sebagai cara ia menebus dosa tatkala menjadi predator penyu," pungkasnya.
Kalpataru merupakan penghargaan bergengsi yang diberikan pemerintah pusat kepada kelompok maupun perseorangan atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.