Info UNIPA

Akademisi Unipa Agus Sumule Ungkap Alasan Masyarakat di Papua Barat Kerap Lakukan Pemalangan

pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan masyarakat diperhatikan pemerintah dan investor

|
TRIBUNPAPUABARAT.COM/KRESENSIA KURNIAWATI MALA PASA
Peneliti demografi Papua dan Papua Barat dari Universitas Papua (Unipa), Agus Sumule, saat diwawancarai di Manokwari, Selasa (20/6/2023). 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI – Di sejumlah daerah di Provinsi Papua Barat, masyarakat masih sering melakukan pemalangan jalan, kantor, sekolah dan fasilitas umum lainnya.

Pemerintah menganggap hal ini bisa menghambat para investor menanamkan modal di Papua Barat.

Akademisi Universitas Papua (Unipa) Agus Sumule menilai, ada dua alasan mengapa masyarakat adat melakukan pemalangan.

Baca juga: Polresta Manokwari Tegaskan Bakal Proses Hukum Masyarakat yang Palang Jalan

Baca juga: Polresta Manokwari Soal Pemalangan Jalan: Jangan Buat Tindak Pidana Baru, Nanti Diproses

Pertama, karena yang melakukan pemalangan merasa tidak memperoleh manfaat yang layak dari kehadiran suatu proyek.

“Apalagi ketika mereka tahu bahwa proyek itu meraup untung besar,” ungkap Agus Sumule dalam keterangan resmi yang diterima TribunPapuaBarat.com, Minggu (3/9/2023).

Menurut dia, pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan masyarakat diperhatikan pemerintah dan investor.

Alasan kedua, ucapnya, dalam budaya Melanesia sesungguhnya tidak dikenal pengalihan atau transfer hak atas tanah, termasuk sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. 

Inilah salah satu topik yang dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021.

Ilustrasi pemalangan
Ilustrasi pemalangan ((TribunPapuaBarat.com/Safwan Ashari))

PP 106/2021 merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua.

Dalam beleid tersebut, termaktub kewenangan Pemprov maupun Pemkab/Pemkot untuk mengatur kerja sama pemanfaatan tanah masyarakat hukum adat dengan pihak lain.

Kerja sama dalam bentuk perjanjian, sewa dan/atau kontrak penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat.

“Inilah pintu masuk legal untuk melindungi masyarakat hukum adat kita,” ungkap peneliti demografi Papua dan Papua Barat itu.

Ia menganjurkan, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua memperhatikan klausul tersebut dengan sungguh-sungguh.

Serta, membuat regulasi daerah yang diperlukan supaya hak-hak masyarakat hukum adat benar-benar terlindungi. 

“Sekarang saatnya kita bicara dan bertindak dengan perjanjian, sewa dan/atau kontrak ketika tanah milik masyarakat hukum adat ingin digunakan. Para pihak harus fair (adil) dengan masyarakat hukum adat Papua,” tuturnya.

Halaman
12
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved