Berita Teluk Bintuni

Ketua Marga Ateta Tolak PT BSP di Wilayah Adat Sumuri, KontraS Papua: Perjanjian Cacat Hukum

Dalam investigasi lapangan, KontraS menemukan bahwa PT BSP diduga menggunakan dua orang dari internal keluarga Marga Ateta.

zoom-inlihat foto Ketua Marga Ateta Tolak PT BSP di Wilayah Adat Sumuri, KontraS Papua: Perjanjian Cacat Hukum
istimewa
KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat Musa, saat mendampingi ketua Marga Ateta membuat Laporan Polisi di Polres Teluk Bintuni.

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Ketua Marga Besar Ateta, Benediktus Ateta menyatakan penolakan tegas terhadap kehadiran PT Borneo Subur Prima (PT BSP) yang membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Distrik Sumuri dan Aroba, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.

Penolakan ini disampaikan langsung saat pertemuan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tanah Papua Wilayah Papua Barat.

Benediktus menegaskan bahwa pihak perusahaan tidak pernah melakukan komunikasi, maupun musyawarah dengan dirinya sebagai kepala marga besar Ateta terkait perjanjian kerja sama penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kini diklaim telah disepakati untuk pembangunan kebun kelapa sawit oleh PT BSP.

Baca juga: PT BSP Respons Soal Penolakan Suku Irrarutu di Aroba Teluk Bintuni

Baca juga: Marga Ateta Duga PT BSP Langgar Aturan Lingkungan di Teluk Bintuni: Itu Hutan Adat Terakhir

Ia mengatakan sebagai kepala marga besar Ateta, pihak perusahaan PT BSP tidak pernah bertemu dengannya untuk membicarakan perjanjian kerja sama penggunaan dan pemanfaatan tanah.

"Kami secara tegas menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit di wilayah adat kami,” ujarnya melalui rilis yang diterima TribunPapuaBarat.com, Selasa (1/7/2025).

Sementara itu, KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai bahwa perjanjian penggunaan dan pemanfaatan tanah antara PT BSP dan pihak yang mengaku mewakili Marga Ateta dibuat secara sepihak tanpa melibatkan tokoh adat yang sah dan berwenang. 

Koordinator KontraS Papua Barat, Musa Mambrasar, menyebut bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur-unsur yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

“Perjanjian ini tidak memenuhi syarat sah, terutama unsur kesepakatan dan keterlibatan pihak yang cakap hukum. Perjanjian semacam ini bisa dikategorikan sebagai perjanjian ilegal,” kata Musa.

Menurutnya, setiap perjanjian yang menyangkut tanah adat harus dilakukan berdasarkan prinsip kesepakatan bersama, melibatkan tokoh adat yang sah, dan tidak boleh dilakukan secara tertutup atau sepihak. 

"Jika tidak, maka perjanjian tersebut bisa dibatalkan karena cacat hukum,"katanya.

Dalam investigasi lapangan, KontraS menemukan bahwa PT BSP diduga menggunakan dua orang dari internal keluarga Marga Ateta.

Kemudian mereka menandatangani dokumen pelepasan lahan dan menerima kompensasi tanpa mandat resmi dari marga besar Ateta.

"Kami juga memiliki bukti berupa foto penyerahan uang dan dokumen perjanjian yang ditandatangani oleh dua orang tersebut," ucap Musa mambrasar Advokat muda.

Tambanya, warga setempat juga menyampaikan keberatan mereka atas keterlibatan dua orang tersebut yang tidak pernah ditunjuk secara adat sebagai perwakilan resmi marga Ateta.

Ia menyampaikan, masuknya PT BSP ke Distrik Sumuri telah memicu konflik horizontal antar-marga, termasuk antara Marga Ateta dan marga lainnya dalam Suku Sumuri

Musa pun menerangkan dalam beberapa pertemuan adat, perwakilan perempuan adat dan tokoh pemuda menyampaikan bahwa dokumen persetujuan yang diklaim perusahaan tidak mewakili suara mayoritas masyarakat adat.

Atas temuan dan penolakan ini, KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat mendesak agar seluruh proses aktivitas PT BSP dihentikan sementara. 

Mereka juga meminta agar Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni tidak menerbitkan izin lebih lanjut kepada perusahaan sebelum persoalan legalitas perjanjian tanah diselesaikan secara adat dan hukum.

“Jika tidak diselesaikan, ini akan menjadi preseden buruk dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat di Papua Barat,” tegas Musa Mambrasar.

Lanjut, ucapnya, Kasus PT BSP di wilayah Marga Ateta menjadi contoh nyata perlunya keterlibatan penuh masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan di atas tanah hak ulayat. 

"Tanpa persetujuan yang sah dan transparan, segala bentuk perjanjian berpotensi cacat hukum dan dapat menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan," pungkasnya.

(*)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved