Marga Ateta Duga PT BSP Langgar Aturan Lingkungan di Teluk Bintuni: Itu Hutan Adat Terakhir
Kepala Marga Ateta sekaligus tokoh adat setempat, Benediktus Ateta, menyebut PT BSP telah melakukan sejumlah kegiatan
Penulis: Matius Pilamo Siep | Editor: Tarsisius Sutomonaio
TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Komunitas adat Marga Ateta menolak aktivitas PT Borneo Subur Prima (PT BSP) di wilayah hutan adat di Distrik Sumuri dan Distrik Aroba, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.
Penolakan didasari dugaan pelanggaran hukum oleh perusahaan karena beroperasi tanpa izin lingkungan yang sah.
Kepala Marga Ateta sekaligus tokoh adat setempat, Benediktus Ateta, menyebut PT BSP telah melakukan sejumlah kegiatan seperti pengukuran tanah dan pembentukan koperasi plasma tanpa melibatkan pemangku hak adat secara sah.
Menurutnya, kegiatan itu berlangsung pada 6-8 Mei 2025, termasuk dugaan perjanjian sepihak dengan oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat Marga Ateta.
“Kegiatan ini seharusnya tidak dapat dilakukan karena dokumen AMDAL sebagai syarat utama belum dimiliki oleh perusahaan. Bahkan rekomendasi lingkungan dari bupati pun belum dikeluarkan,” kata Benediktus Ateta melalui siaran pers yang diterima TribunPapuaBarat.com, Jumat (27/6/2025).
Menurutnya, keberadaan PT BSP mengancam eksistensi hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat secara turun-temurun.
Baca juga: Andreas Nauri Desak PT BSP Libatkan Masyarakat Adat dalam Penyusunan Dokumen AMDAL
Hutan tersebut, katanya, menyimpan nilai budaya, menjadi sumber pangan, serta wilayah sakral yang tidak dapat digantikan.
“Jika hutan adat terakhir ini hilang, kami sebagai pemilik hak ulayat akan kehilangan segalanya. Kami makan dan hidup dari situ. Itu adalah lumbung pangan kami. Di mana lagi kami akan hidup jika semua ini hilang?” katanya.
Sebagai bentuk konkret penolakan, Marga Ateta telah melakukan berbagai langkah advokasi dan pelaporan ke sejumlah lembaga.
Koordinasi telah dilakukan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, Polres Teluk Bintuni, DPRD Teluk Bintuni, serta kepada Bupati Teluk Bintuni.
Kuasa hukum Marga Ateta, Musa Mambrasar, menegaskan PT BSP diduga melanggar Pasal 109 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
“Setiap orang yang melakukan usaha tanpa izin lingkungan dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun, serta denda antara Rp1 miliar hingga Rp3 miliar. Ini adalah pelanggaran serius,” ujarnya.
Baca juga: 12 Marga Tolak PT BSP di Wilayah Suku Irartu: Tak Berikan Kesejahteraan Bagi Masyarakat Adat
Ia menekankan dokumen AMDAL merupakan syarat wajib yang harus dimiliki sebelum aktivitas perusahaan dimulai.
"Tanpa AMDAL dan rekomendasi lingkungan dari pemerintah daerah, semua bentuk aktivitas usaha di wilayah itu tidak sah secara hukum," ujar Musa Mambrasar.
Sejarah Baru, KUA Moraid Catat Perikahan di Pesisir Kabupaten Tambrauw |
![]() |
---|
Masuk Bursa Calon Menpora, Ketum HIPMI Papua Barat: Kepemimpinan Akbar Buchari Tak Diragukan |
![]() |
---|
Ramalan Cuaca Papua Barat Besok Kamis 18 September 2025: Terprediksi Hujan dan Berawan |
![]() |
---|
Kejurprov Atletik Papua Barat Open 2025 Ditunda, Pengprov PASI Sampaikan Permohonan Maaf |
![]() |
---|
Oknum Wanita Tersangka Perzinahan Resmi Ditetapkan Sebagai DPO Polres Kaimana |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.