Perjuangan Ayah Tuna Netra untuk Keluarga, Tiap Hari Keliling Kota Sorong Jualan Sapu Lidi

Penulis: Petrus Bolly Lamak
Editor: Jefri Susetio
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SEMANGAT AYAH - Seorang tuna netra Felix Baab tiap hari keliling Kota Sorong untuk jualan sapu lidi, saban hari ia menahan haus dan lapar demi sekolahnya anaknya

TRIBUNPAPUABARAT.COM, SORONG - SIANG itu sedang terik. Seorang pria tuna netra berjalan sembari membawa sapu lidi di tengah Kota Sorong.

Pak Felix Baab namanya. Sejak usia 4 tahun ia tidak bisa melihat. Sakit malaria yang dideritanya saat balita membuat dia buta.

Saban hari, ia berjalan keliling kota untuk berjualan sapu lidi. Ia berjuang untuk memberi nafkah keluarga. Ia pengin anaknya bisa sarjana.

"Saya memang tidak bisa lihat tapi Tuhan itu sungguh mulia. Dia masih memberikan saya kesempatan untuk berjalan dan berjualan," katanya kepada TribunPapuaBarat.com, Selasa (9/8/2022). 

Baca juga: Cerita Arif Rimosan, Buat Honai Kopi untuk Inspirasi Anak Muda Papua Jadi Pengusaha

Baca juga: Kisah Para Guru MAN Kota Sorong, Menabung Setahun Demi Bisa Kurban Idul Adha

Meski hidupnya serba kekurangan, Pak Felix tetap bersyukur. Penghasilan dari jualan sapu lidi ia berikan kepada istri.

Sejak 2015, ia menyusuri seluruh Kota Sorong, Papua Barat untuk berjualan. Tongkat kecil berukuran satu meter ia gunakan untuk membantu berjalan.

Bahkan, Pak Felix sudah hafal seluruh ruas jalan di Kota Sorong.

"Saya jualan itu mulai dari kampung baru, Klademak, Kilo bahkan sampai Malanu Kampung," ujarnya.

Setiap pukul 09.00 WIT, ia meninggalkan rumahnya di Klademak Kota Sorong. Ia berjalan berkilo-lometer panjangnya. Baru ketika sudah malam ia pulang ke rumahnya.

Jika jualan sapu lidinya cepat laku, ia bisa sampai ke rumah lebih awal. Biasanya ia sudah kembali saat petang.

"Karena tak bisa lihat, saya jalan saja. Orang kalau mau beli tinggal panggil dan mereka kasih uangnya. Saya sudah hafal jalan jadi kalau rasa matahari sudah tidak panas saya kembali. Dan puji Tuhan pasti sampai rumah," katanya.

Perjalanan panjang sambil membawa beban yang tidak ringan tentu melelahkan. Apalagi bila panas sedang menyengat atau hujan turun deras.

Saat di tengah jalan, Pak Felix dilanda rasa haus dan lapar. Namun, ia tidak pernah mengalah untuk memuaskan rasa haus dan lapar itu dengan jajan.

"Saya biasanya diberi makanan dan minuman oleh warga. Dan, bawa bekal dari rumah. Saya khawatir untuk jajan, uang sedikit untuk jajan bisa cepat habis," ujarnya.

Bisanya dalam sehari 10 sampai 15 sapu lidinya laku terjual. Namun, sering juga tidak laku.

Satu ikat sapu lidinya dijual Rp 15 ribu. Uang hasil jualan diserahkan pada istrinya untuk biaya hidup dan bayar uang sekolah.

Kini, anak sulung Pak Felix kuliah semester tiga di Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS).

Baca juga: Dinas Pendidikan Papua Barat akan Tambah Sekolah Negeri, Sekolah dan Guru Terbatas

Baca juga: Perjalanan Hidup Sakarias Dowansiba, 7 Hari 7 Malam Jalan Kaki dari Pegaf Menuju Manokwari

Sedangkan, anak kedua sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan anak bungsunya belum sekolah.

"Istri juga kerja ibu rumah tangga saja dan kerja-kerja sampingan lainya. Tapi sekali lagi Tuhan itu baik. Anak saya boleh menikmati pendidikan dan keluarga kami bisa makan. Itu saja sudah cukup," ceritanya.

Ia bersyukur istri dan anak-anaknya bisa menerima kekurangannya itu. Mereka berjuang untuk sekolahkan anak-anaknya.

Pak Felix selalu mengandalkan feeling dalam melakukan aktivitas sehari-hari khusus saat berjalan.

Kadangkala ia dituntun warga saat ingin menyeberang.

"Saya sudah hafal suara-suara kendaraan sehingga pasti berhati-hati," katanya.

(*)