Berita Manokwari

Kisah Siana Woria, Melestarikan Budaya Papua Lewat Kuliner Sagu Forno

Kisah Siana Woria, Melestarikan Budaya Papua Lewat Kuliner Sagu Forno meskipun di tengah gempuran makanan cepat saji, ia pun telah mengajarkan anaknya

TRIBUNPAPUABARAT.COM/KRESENSIA KURNIAWATI MALA PASA
SAGU FORNO - Siana Woria (72), penjual 'sagu forno', sagu bakar khas Papua di Pasar Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, Senin (9/1/2023) pagi. 

Lalu sagu diayak untuk memisahkan bongkahan dan menyisakan tepung sagu halus.

Tepung sagu dicampur kelapa parut yang sebelumnya telah digoreng dengan gula pasir.

Sementara menyatukan adonan sagu forno, cetakan sagu lempeng dipanaskan di atas nyala kayu api.

"Adonan tong (kita) kasih masuk ke cetakan. Lalu kasih masuk gula merah di atasnya, baru tong tutup cetakannya dengan daun pisang," ucapnya.

Tak butuh waktu lama untuk membakar sagu forno, cukup menjaga nyala api agar tetap stabil, maka sekira 20 menitan, sagu forno bisa diangkat dari cetakan.

Tanda sagu forno telah masak sempurna yakni dari warnanya yang telah berubah cokelat karamel.

Ditambah aromo kelapa bakar telah tercium.

Sehingga, ketika sagu forno dimakan, rasa gurih dan manis menyatu di lidah tiap kali gigitan.

"Paling cocok kalau dimakan sambil minum teh atau kopi," ucapnya.

Bagi dia, memasak dan berjualan Sagu Forno tak sekadar berwirausah tetapi merawat makanan tradisional Papua agar tetap lestari.

"Anak perempuan saya juga tahu bakar sagu forno, jadi dia juga sering jualan kalau saya pulang Serui," imbuhnya.

Satu bungkus Sagu Forno ia jual seharga Rp 10.000.

Dalam sehari, Siana Woria bisa mengantongi uang sejumlah Rp 200.000-300.000.

"Biar ada banyak jajanan di pasar, orang-orang juga masih banyak yang suka makan sagu forno," pungkasnya.

(*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved