Masyarakat Adat Alua-Marian dan Siep-Elosak Tolak 52 Kantor Pemerintah di Tanah Adat Wasalma

Perwakilan pemuda adat, Melvin Marian, menyebut isu tersebut sudah dibahas dalam enam kali pertemuan adat, yang semuanya berujung pada penolakan

istimewa
Masyarakat adat subsuku Alua-Marian dan Siep-Elosak menggelar pertemuan penolakan terhadap rencana Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan membangun 52 kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di wilayah Kampung Wasalma, Distrik Pisugi, Kabupaten Jayawijaya, Selasa (23/9/2025) 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, MANOKWARI - Masyarakat adat subsuku Alua-Marian dan Siep-Elosak tegas menolak rencana pembangunan 52 kantor perangkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Pegunungan di Kampung Wasalma, Distrik Pisugi, Kabupaten Jayawijaya.

Seruan penolakan masyarakat adat ditegaskan dalam pernyataan bersama tokoh adat, pemuda, dan masyarakat setempat pada Selasa 23 September 2025.

Mereka menyatakan sikap, bahwa tanah di Kampung Wasalma merupakan tanah adat yang dilindungi oleh keputusan forum adat dan tidak dapat diperjualbelikan dalam bentuk apa pun.

Perwakilan kepala suku Aolek Marian menyatakan bahwa tanah merupakan warisan luluhur yang diberikan dan harus dijaga untuk generasi mendatang.

“Tanah ini merupakan warisan leluhur kami dan sudah disepakati dalam forum adat Hubula Nyaiwerek. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan itu, karena tanah adat bukan untuk dijual, melainkan untuk diwariskan kepada generasi,” tegas  Aolek Marian melalui siaran pers kepada Tribun.

Baca juga: Mahasiswa Jayawijaya di Manokwari Rayakan HUT ke-17 Asrama dan Syukuran Wisudawan

Enam Kali Penolakan

Penolakan terhadap proyek pembangunan kantor OPD Pemprov Papua Pegunungan ini bukan hal baru. 

Perwakilan pemuda adat, Melvin Marian, menyebut isu tersebut sudah dibahas dalam enam kali pertemuan adat, yang semuanya berujung pada penolakan.

“Sudah enam kali kami bahas dalam forum adat, hasilnya jelas: tidak boleh ada transaksi jual beli tanah adat," ucapnya.

Namun, menurutnya tetap saja ada oknum yang mengatasnamakan suku untuk menjual. 

"Hari ini kami sampaikan, kami menolak secara tegas rencana pembangunan ini,” tegas Melvin.

Ia menambahkan, pemaksaan pembangunan di atas tanah adat tanpa persetujuan komunitas lokal sangat berpotensi memicu konflik sosial. 

Melvin memperingatkan bahwa jika hal itu tetap dilakukan, maka tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan pemerintah.

“Apabila ke depan terjadi konflik atau persoalan hukum, pemerintah harus bertanggung jawab. Tanah ini adalah identitas dan hidup kami, bukan objek dagang,” lanjutnya.

Baca juga: BKD Papua Pegunungan Sulit Temukan Lokasi untuk Seleksi CPNS

Sememtara itu, Tokoh masyarakat, Minius Marian, menilai pemerintah telah mengabaikan dasar hukum yang jelas-jelas melindungi hak masyarakat adat atas tanah ulayat. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved