Pemilu 2024

Ini Kata Pendeta Abraham Terkait Mimbar Gereja Digunakan untuk Berpolitik

Dalam kesempatan itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk bisa memahami kontekstual ibadah dan bisa tahu batasan. 

Penulis: Aldi Bimantara | Editor: Libertus Manik Allo
TribunPapuaBarat.com//Aldi Bimantara
Ketua Badan Pekerja Klasis GKI Fakfak, Pendeta Abraham Tanamal 

TRIBUNPAPUABARAT.COM, FAKFAK - Ketua Badan Pekerja Klasis GKI Fakfak, Pendeta Abraham Tanamal turut angkat bicara atau berkomentar terkait pandangannya soal apakah diperbolehkan mimbar gereja di Fakfak digunakan untuk berpolitik. 

Pendeta Abraham Tanamal menegaskan, saat ini bahwasanya semua berada dalam panduan. 

"Hari ini, sebagai Badan Pekerja Klasis khusus untuk 2 klasis di Fakfak, tentu kami bagian dari suksesi gereja," katanya, Kamis (18/1/2024).

Baca juga: Abraham Tanamal Imbau Umat di Fakfak Jaga Kedamaian dan Persaudaraan Jelang Pemilu 2024

Baca juga: Pendeta Abraham Tanamal Minta Pemasangan APK di Sekitar Gereja Harus Tertib

Oleh sebab itu, Pendeta Abraham mengimbau kepada jemaat yang maju sebagai caleg tidak memakai mimbar gereja untuk berpolitik. 

"Karena tentu ada batasannya, memang diberikan ruang ketika mereka hadir dalam lembaga gereja khususnya ruang ibadah tetapi konteksnya hadir hanya untuk menghadiri ibadah," tegas Pendeta Abraham. 

Dikatakannya, sehabis ibadah oleh majelis jemaat baru kemudian diberikan mandat atas nama yang bersangkutan untuk bisa memperkenalkan diri dan maksud serta tujuan. 

"Lain halnya ketika para caleg ingin berjumpa dengan warga jemaat, maka ruang-ruang itu diperbolehkan dibuka tetapi di luar dari lingkungan gereja," jelasnya. 

Pendeta Abraham Tanamal mencontohkan, misalnya bisa saja melakukan pertemuan di rumah-rumah jemaat, atau pada tempat lain.

"Itu kalau berbicara terkait pertemuan-pertemuan yang melibatkan jemaat dalam bentuk komunikasi politik secara verbal," tandasnya. 

Dalam kesempatan itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk bisa memahami kontekstual ibadah dan bisa tahu batasan. 

"Kami tentu selalu mengingatkan, karena tentu panduan semacam ini sudah ada dalam Keputusan tertinggi di Waropen pada tahun 2022 di mana telah ada Renstra untuk 26 tahun ke depan hingga 2036," paparnya. 

Sehingga dalam hal berpolitik, baik itu warga jemaat termasuk pelayan firman yang bekerja secara organik maupun non-organik  didorong agar bagaimana tak lagi menjadi abu-abu.

"Kami dorong untuk memberikan warna melalui regulasi yang sinode berikan, untuk bisa duduk misalnya dalam lembaga kultur MRP tetapi juga lembaga eksekutif dan legislatif," tutupnya.

(*) 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved